Tata Cara Melakukan Sholat Gerhana

Tidak ada satu kejadian di antara sekian banyak kejadian yang ditampakkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di hadapan hamba-Nya, melainkan agar kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari kekuasaan yang Allah ‘Azza wa Jalla tampakkan tersebut. Yang pada akhirnya, kita dituntut untuk selalu mawas diri dan melakukan muhasabah.
 
Di antara bukti kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu, ialah terjadinya gerhana. Sebuah kejadian besar yang banyak dianggap remeh manusia. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam justru memperingatkan umatnya untuk kembali ingat dan segera menegakkan shalat, memperbanyak dzikir, istighfar, doa, sedekah, dan amal shalih tatkala terjadi peristiwa gerhana. Dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah. Sesungguhnya keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah.” (Muttafaqun ‘alaihi)

PENGERTIAN GERHANA
Dalam istilah fuqaha dinamakan kusûf. Yaitu hilangnya cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya, dan perubahan cahaya yang mengarah ke warna hitam atau gelap. Kalimat khusûf semakna dengan kusûf. Ada pula yang mengatakan kusûf adalah gerhana matahari, sedangkan khusûf adalah gerhana bulan. Pemilahan ini lebih masyhur menurut bahasa. [1] Jadi, shalat gerhana, ialah shalat yang dikerjakan dengan tata cara dan gerakan tertentu, ketika hilang cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya.

HUKUM SHALAT GERHANA
Jumhur ulama’ berpendapat, shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. Abu ‘Awanah Rahimahullah menegaskan wajibnya shalat gerhana matahari. Demikian pula riwayat dari Abu Hanifah Rahimahullah, beliau memiliki pendapat yang sama. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa beliau menempatkannya seperti shalat Jum’at. Demikian pula Ibnu Qudamah Rahimahullah berpendapat, bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. [2]
Adapun yang lebih kuat, ialah pendapat yang mengatakan wajib, berdasarkan perintah yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Imam asy-Syaukani juga menguatkan pendapat ini. Demikian pula Shiddiq Hasan Khân Rahimahullah dan Syaikh al-Albâni Rahimahullah. [3] Dan Syaikh Muhammad bin Shâlih ‘Utsaimin Rahimahullah berkata: “Sebagian ulama berpendapat, shalat gerhana wajib hukumnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (jika kalian melihat, maka shalatlah—muttafaqun ‘alaih).
Sesungguhnya, gerhana merupakan peristiwa yang menakutkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkhutbah dengan khutbah yang agung, menjelaskan tentang surga dan neraka. Semua itu menjadi satu alasan kuat wajibnya perkara ini, kalaupun kita katakan hukumnya sunnah tatkala kita melihat banyak orang yang meninggalkannya, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sangat menekankan tentang kejadian ini, kemudian tidak ada dosa sama sekali tatkala orang lain mulai berani meninggalkannya. Maka, pendapat ini perlu ditilik ulang, bagaimana bisa dikatakan sesuatu yang menakutkan kemudian dengan sengaja kita meninggalkannya? Bahkan seolah hanya kejadian biasa saja? Dimanakah rasa takut?
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan wajib, memiliki argumen sangat kuat. Sehingga jika ada manusia yang melihat gerhana matahari atau bulan, lalu tidak peduli sama sekali, masing-masing sibuk dengan dagangannya, masing-masing sibuk dengan hal sia-sia, sibuk di ladang; semua itu dikhawatirkan menjadi sebab turunnya adzab Allah, yang kita diperintahkan untuk mewaspdainya. Maka pendapat yang mengatakan wajib memiliki argumen lebih kuat daripada yang mengatakan sunnah. [4]
Dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin pun menyatakan, “Jika kita mengatakan hukumnya wajib, maka yang nampak wajibnya adalah wajib kifayah.”
Adapun shalat gerhana bulan, terdapat dua pendapat yang berbeda dari kalangan ulama.
Pendapat pertama. Sunnah muakkadah, dan dilakukan secara berjama’ah seperti halnya shalat gerhana matahari. Demikian ini pendapat Imam asy- Syâfi’i, Ahmad, Dawud Ibnu Hazm. Dan pendapat senada juga datang dari ‘Atha, Hasan, an-Nakha`i, Ishâq dan riwayat dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu. [5] Dalil mereka:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah. Sesungguhnya, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai terang kembali.” (Muttafqun ‘alaihi).
Pendapat kedua. Tidak dilakukan secara berjama’ah. Demikian ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Mâlik. [6] Dalilnya, bahwa pada umumnya, pelaksanaan shalat gerhana bulan pada malam hari lebih berat dari pada pelaksanaannya saat siang hari. Sementara itu belum ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menunaikannya secara berjama’ah, padahal kejadian gerhana bulan lebih sering dari pada kejadian gerhana matahari.

Manakah pendapat yang kuat? Dalam hal ini, ialah pendapat pertama, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kepada umatnya untuk menunaikan keduanya tanpa ada pengecualian antara yang satu dengan lainnya (gerhana matahari dan bulan). [7]

Sebagaimana di dalam hadits disebutkan, “Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Ibnu Qudamah Rahimahullah juga berkata, “Sunnah yang diajarkan, ialah menunaikan shalat gerhana berjama’ah di masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, walaupun boleh juga dilakukan sendiri-sendiri,namun pelaksanaannya dengan berjama’ah lebih afdhal (lebih baik). Karena yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ialah dengan berjama’ah. Sehingga, dengan demikian, sunnah yang telah diajarkan ialah menunaikannya di masjid.” [8]

WAKTU SHALAT GERHANA
Shalat dimulai dari awal gerhana matahari atau bulan sampai gerhana tersebut berakhir. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai kembali terang.” (Muttafaqun ‘alaihi).

KAPAN GERHANA DIANGGAP USAI?
Shalat gerhana matahari tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu (1) terang seperti sediakala, dan (2) gerhana terjadi tatkala matahari terbenam. Demikian pula halnya dengan shalat gerhana bulan, tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu (1) terang seperti sediakala, dan (2) saat terbit matahari. [9]

AMALAN YANG DIKERJAKAN KETIKA TERJADI GERHANA
  1. Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan amal shalih. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,“Oleh karena itu, bila kaliannya melihat, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
  2. Keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat gerhana berjama’ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits,“Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
  3. Wanita keluar untuk ikut serta menunaikan shalat gerhana, sebagaimana dalam hadits Asma’ binti Abu Bakr Radhiallahu’anhuma berkata,“Aku mendatangi ‘Aisyah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tatkala terjadi gerhana matahari. Aku melihat orang-orang berdiri menunaikan shalat, demikian pula ‘Aisyah aku melihatnya shalat.” (Muttafaqun ‘alaihi) Jika dikhawatirkan akan terjadi fitnah, maka hendaknya para wanita mengerjakan shalat gerhana ini sendiri-sendiri di rumah mereka berdasarkan keumuman perintah mengerjakan shalat gerhana.
  4. Shalat gerhana (matahari dan bulan) tanpa adzan dan iqamah, akan tetapi diseru untuk shalat pada malam dan siang dengan ucapan “ash-shalâtu jâmi’ah” (shalat akan didirikan), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu’anhuma, ia berkata: Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diserukan “ash-shalatu jâmi’ah” (sesungguhnya shalat akan didirikan). (HR Bukhâri)
  5. Khutbah setelah shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits, ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata: Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tatkala selesai shalat, dia berdiri menghadap manusia lalu berkhutbah. (HR Bukhâri)
TATA CARA SHALAT GERHANA
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa shalat gerhana dua raka’at. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam hal tata cara pelaksanaannya. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama. Imam Mâlik, Syâfi’i, dan Ahmad, mereka berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at. Pada setiap raka’at ada dua kali berdiri, dua kali membaca, dua ruku’ dan dua sujud. Pendapat ini berdasarkan beberapa hadits, di antaranya hadits Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu, ia berkata, “Telah terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka beliau shalat dan orang-orang ikut shalat bersamanya. Beliau berdiri sangat lama (seperti) membaca surat al-Baqarah, kemudian ruku’ dan sangat lama ruku’nya, lalu berdiri, lama sekali berdirinya namun berdiri yang kedua lebih pendek dari berdiri yang pertama, kemudian ruku’, lama sekali ruku’nya namun ruku’ kedua lebih pendek dari ruku’ pertama.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Hadits kedua, dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melaksanakan shalat ketika terjadi gerhana matahari. Rasulullah berdiri kemudian bertakbir kemudian membaca, panjang sekali bacaannya, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, kemudian mengangkat kepalanya (i’tidal) seraya mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah,” kemudian berdiri sebagaimana berdiri yang pertama, kemudian membaca, panjang sekali bacaannya namun bacaan yang kedua lebih pendek dari bacaan yang pertama, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, namun lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian sujud, panjang sekali sujudnya, kemudian dia berbuat pada raka’at yang kedua sebagimana yang dilakukan pada raka’at pertama, kemudian salam…” (Muttafaqun ‘alaihi).

Pendapat kedua. Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at, dan setiap raka’at satu kali berdiri, satu ruku dan dua sujud seperti halnya shalat sunnah lainnya. Dalil yang disebutkan Abu Hanifah dan yang senada dengannya, ialah hadits Abu Bakrah, ia berkata:

“Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka Rasulullah keluar dari rumahnya seraya menyeret selendangnya sampai akhirnya tiba di masjid. Orang-orang pun ikut melakukan apa yang dilakukannya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam shalat bersama mereka dua raka’at.” (HR Bukhâri, an-Nasâ‘i)

Dari pendapat di atas, pendapat yang kuat ialah pendapat pertama (jumhur ulama’), berdasarkan beberapa hadits shahih yang menjelaskan hal itu. Karena pendapat Abu Hanifah Rahimahullah dan orang-orang yang sependapat dengannya, riwayat yang mereka sebutkan bersifat mutlak (umum), sedangkan riwayat yang dijadikan dalil oleh jumhur (mayoritas) ulama adalah muqayyad. [10]
Syaikh al-Albâni Rahimahullah berkata, [11] “Ringkas kata, dalam masalah cara shalat gerhana yang benar ialah dua raka’at, yang pada setiap raka’at terdapat dua ruku’, sebagaimana diriwayatkan oleh sekelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan riwayat yang shahih”. Wallahu a’lam.
Ringkasan tata cara shalat gerhana sebagai berikut.
  1. Bertakbir, membaca doa iftitah, ta’awudz, membaca surat al-Fâtihah, dan membaca surat panjang, seperti al-Baqarah.
  2. Ruku’ dengan ruku’ yang panjang.
  3. Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan: sami’allhu liman hamidah.
  4. Tidak sujud (setelah bangkit dari ruku’), akan tetapi membaca surat al-Fatihah dan surat yang lebih ringan dari yang pertama.
  5. Kemudian ruku’ lagi dengan ruku’ yang panjang, hanya saja lebih ringan dari ruku’ yang pertama.
  6. Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan: sami’allahu liman hamidah.
  7. Kemudian sujud, lalu duduk antara dua sujud, lalu sujud lagi.
  8. Kemudian berdiri ke raka’at kedua, dan selanjutnya melakukan seperti yang dilakukan pada raka’at pertama.

Melaksanakan Sholat Dalam Perjalanan

Bagi musafir muslim yang berada dalah perjalanan diperkenankan mengqasar (meringkas) shalatnya dan menjama' (mengumpulkan) shalatnya.  yang dimaksud mengqasar sholat ialah meringkas shalat yang terdiri dari empat raka'at menjadi dua raka'at saja. seperti Dzuhur, Ashar, dan Isya. Sedangkan yang dimaksud menjama' shalat ialah melakukan dua shalat dalam satu waktu. misalnya, shalat Ashar dan Dzuhur dilakukan pada waktu dzuhur atau Ashar. atau sholat magrib dengan sholat Isya dilakukan dalam waktu magrib atau Isya.
 
Allah berfirman dalam QS. An-nisaa : 101 yang artinya :
"Dan apabila kamu berpergian dimuka bumi maka tidaklah mengapa kamu mengqasarkan sholatmu"

Batas perjalanan yang diperkenankan qashar itu 16 farsah ata 138,24 km. Sebagaimana tersebut dalam satu riwayat. akan tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa qasar itu boleh dalam perjalanan 3 mil.

Adapun cara melakukan jama' itu ada dua macam :
  1. Jama' taqdim, yaitu mengerjakan shalat dzuhue dan Ashar dalam waktu Dzuhur. begitu pula mengerjakan sholat maghrib dan Isya' dalam waktu Maghrib.
  2. Jama' ta'khir, yaitu melakukan shalat dzuhur dan Ashar dalam waktu Ashar , dam melakukan shalat maghrib dan Isya' dalam waktu Isya'.

Syarat melakukan shalat jama' taqdim ialah :
  1. Meniatkan jama' pada waktu yang pertama.
  2. Tertib.
  3. Berturut-turut. 
  4. selesai melakukan shalat yang pertama selanjutnya melakukan shalat yang kedua.
Sedangkan syarat jama ta'khir ialah :
  1. Meniatkan Jama' pada sholat yang pertama.
Menjama' Shalar itu diperkenankan karena :
  1. Dalam perjalanan dengan ketentuan diatas.
  2. Karena hujan, bagi yang shalat berjama'ah dimasjid jika hujan itu cukup lebat.
  3. Bila dalam keadaan sakit berat, misal puing, muntah-muntah dsb.

Tentang Syukur Nikmat

Syukur nikmat artinya berterima kasih kepada Allah SWT atas segala keningmatan yang dianugerahkan kepada kita.Kebalikannya ialah kufrunni'mah artinya mengingkari ( tidak mengakui ) nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada kita. Bersyukur diperintahkan dalam agama sebagaimana dalam firman Allah yang artinya : "Karena itu ingatlah kepada-Ku, Niscaya aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku." (QS. Al Baqarah : 152)
 
Menurut Imam Ghazaly nikmat ialah :"Setiap kebaikan, kelezatan kebahagiaan, bahkan setiap keinginan yang terpenuhi. Tetapi nikmat yang sejati ialah kebahagiaan hidup dihari kemudian yang abadi". Sungguh amat banyak nikmat Allah yang diberikan kepada manusia. Baik nikmat yang dibawa manusia sejak lahir maupun yang mendatang, yang diperoleh manusia dalam perjalanan hidupnya. Tak terhitung jumlahnya, tak dapat ditimbang beratnya, dan tak ternilai harganya. Tersebut dalam firman Allah yang artinya : "dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS An-Nahl : 18)

Agama Ajaran Tauhid

Menurut bahasa "Tauhid" berasal dari akar kata wahhada, artinya mengesakan Tuhan. Menurut istilah ialah beriman kepada Allah, Tuhan yang maha Esa, baik sebagai pencipta alam semesta, maupun sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak menerima penyembahan dari makhluk-Nya.

Tauhid dibagi menjadi dua, yang pertama disebut Tauhid Rububiyyah, sedangkan yang kedua disebut Tauhid Uluhiyyah. Ringkasnya tauhid adalah hanya percaya kepada Tuhan yang maha Esa, dan hanya menyembah kepada-Nya.
 
Kitab suci Al-Qur'an menegaskan pula bahwa ajaran Tauid bukan saja dibawa oleh Nabi Muihammad SAW. Akan tetapi juga ajaran agama yang diwahyukan kepada para Nabi dan Rasul sebelumnya, sejak Nabi Adam AS sebagai manusia dan Nabi yang pertama.

Demikianlah prinsipnya pokok ajaran agama wahyu adalah sama, yaitu Tauhid. Adapun perbedaan syari'at antara agama wahyu yang satu dengan yang lain adalah wajar, semata-mata hanya karena perbedaan tempat dan waktu yang memerlukan perbedaan peraturan. Oleh sebab itu pada hakekatnya Islam bukan hanya agama wahyu yang terakhir akan tetapi juga ajaran wahyu yang pertama.

Do'a Niat Puasa Ramadhan

“Nawaitu shauma ghadin ‘an adaa-i fardhi syahri ramadhaana haadzihis sanati lillaahi ta’aalaa” 
Artinya : “Sengaja saya berpuasa esok hari untuk menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah semata.”

Do'a Yang Mustajab

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Doa adalah senjata orang mukmin, pilar agama, dan cahaya bagi langit dan bumi.” Kekuatan doa pun tidak perlu diragukan lagi, sebab apa pun yang kita panjatkan, selama tidak untuk kejahatan dan pemutusan silaturahmi, pasti cepat atau lambat akan dikabulkan oleh Allah jika dilakukan dengan benar dan tepat sesuai tuntunan Rasulullah sebab itu merupakan janji Allah kepada kita.
“Setiap hamba yang berdoa kepada Allah, pastilah doanya itu dikabulkan, atau Allah menjauhkannya dari kejahatan, selama ia berdoa memohon sesuatu yang tidak membawa kepada dosa atau memutuskan silaturahmi.” (H.R. at-Tirmizi)
“Tidaklah seorang muslim yang berdoa dengan doa yang tidak mengandung kejahatan dan pemutusan silaturahmi, kecuali Allah akan memberikan kepadanya satu dari tiga hal: (1) pengabulan doanya dipercepat; (2) pengabulan doanya diakhirkan di akhirat; (3) ia akan dihindarkan dari kejelekan yang semisal.” (H.R. Ahmad)
Sebagai manusia, sudah sewajarnya kita ingin agar doa kita senantiasa dikabulkan secepatnya oleh Allah. Doa yang demikian dinamakan doa yang mustajab atau doa yang segera / langsung dikabulkan oleh Allah, tanpa harus tertunda lagi. Ada 10 macam golongan orang yang doanya mustajab:
  1. Doa seorang muslim terhadap saudaranya tanpa sepengetahuannya (H.R. Muslim)
  2. Doa orang yang banyak berdoa (H.R. Tirmizi)
  3. Doa orang yang teraniaya (H.R. Muslim)
  4. Doa orang tua kepada anaknya (H.R. Abu Daud)
  5. Doa seorang musafir (H.R. Abu Daud)
  6. Doa orang yang berpuasa (H.R. al-Baihaqi)
  7. Doa orang dalam keadaan terpaksa / terjepit keadaan (Q.S. an-Naml [27]:62)
  8. Doa anak yang berbakti kepada orang tuanya (H.R. al-Bazzar)
  9. Doa pemimpin yang adil (H.R. al-Baihaqi)
  10. Doa orang yang bertobat (Q.S. an-Nisa’ [4]:110)
Sedangkan berikut ini adalah lokasi atau tempat dimana doa yang kita baca di sana akan mustajab:
  • Ka’bah (H.R. Thabrani)
  • Multazam (H.R. Thabrani)
  • Masjid Agung (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha)
  • Antara Bukit Shafa dan Marwa (H.R. Muslim)
  • Raudhah, Masjid Nabawi, setelah menunaikan shalat dua raka’at
  • Di belakang Maqam Ibrahim
  • Di Padang Arafah, ketika wukuf

Tata Cara Berwudhu

Berikut ini urutan-urutan langkah atau tata cara melakukan wudhu / wudlu: 
  • Membaca d'oa sebelum wudhu.
  • Mencuci / membasuh kedua telapak tangan tiga kali sambil membaca basmalah.
  • Membersihkan mulut dan lubang hidung, masing-masing sebanyak tiga kali.
  • Membasuh muka sebanyak tiga kali sambil mengucapkan do'a niat wudhu :
    • “Nawaitul wudhuu-a liraf’ll hadatsil ashghari fardhal lilaahi ta’aalaa”
    • Artinya : "Saya niat berwudhu untuk menghilangkan hadats kecil fardu karena Allah semata".
  • Mencuci / membersihkan tangan kanan dan kiri, mulai dari ujung jari hingga pangkal / batas siku, masing-masing sebanyak tiga kali.
  • Mengusap kepala mulai dari dahi hingga batas rambut bagian atas sebanyak tiga kali.
  • Menyapu / membersihkan kedua telinga mulai bagian daun telinga bawah dan menuju bagian atas, sebanyak tiga kali.
  • Mencuci / membersihkan kaki kanan dan kiri, mulai dari ujung jari merata hingga mata kaki, masing-masing sebanyak tiga kali.
  • Membaca do'a setelah wudhu.